As-Syahid Nabil

“Apakah ibu ridlo padaku ?” itulah kalimat terkahir yang diucapkan Asy-Syahid Nabil Abdirrahman sesaat sebelum ia meninggalkan kehidupan fana ini. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit Rafidia Nablus.
Tentara Mujahid
Nabil Khatir lahir di kampong Baruqain dekat Salvet tanggal 25/2/1979. Sebegaimana keluarga Mujahid lainya, Nabil Khatir terkenal dengan ketakwaan dan keshalehanya. Ia adalah putra bungsu dari lima saudara laki-laki dan enam saudara perempuanya. Tentunya ia punya sipat-sipat yang tidak dimiliki oleh saudara-saudaranya yang lain, sebagai anak paling kecil di rumah tersebut. Namun ia lebih memilih tinggal di rumahnya saja.
Nabil mengecap pendidikan dasar dan menengah di kampungnya di Barqoin dan berhasil memperoleh ijzah jurusan ilmu alam.
Dari daftar hasil studinya tergambar ia seorang yang cerdas, pintar dan giat dalam belajar. Sejak kecil memang ia dididik secara islami. Keluarganya terkenal sebagai orang yang taat beragama. Sejak masih anak-anak ia sudah dikenalkan dengan masjid dan pendidikan jihad. Tak jarang ia bersinggungan dengan tentara Israel, ketika pasukan zionis dengan bengisnya menghancurkan rumahnya saat menggerebak dan menangkap suadaranya, terutama pada intifadhah pertama.
Dalam hatinya tumbuh kecintaan pada negaranya dan kebencian yang mendalam pada penjajahan.
Setelah ia lulus dari sekolah menengah umum ia kemudian melanjutkan ke Universitas Kholil jurusan pertanian pada tahun 1998. Saat itu di Palestina terjadi pergolakan terutama di Tepi Barat akibat perjanjian Madrid yang berlanjut ke perjanjian Oslo yang dinilai merugikan bangsa Palestina.
Ketika itu Nabil bergabung dengan madrasah jihad dan perlawanan. Ia masuk pada kelompok Islam, wahana pembentukan para laki-laki dan pabriknya para pahlawan. Nabil lalu masuk pada level komandan dan memenangkan pemilihan pada pemilu mahasiswa. Akan tetapi, jabatan tersebut tidak membuat Nabil kenyang akan kecintaannya terhadap Islam. Ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari fakultas pertanian dan berpindah ke fakultas Syari’ah untuk memantapkan pemahaman agamanya.
Kebisuan Negara Arab dan mendulnya pemerintahan mereka, dalam menghadapi kejahatan Israel, membuat Nabil merasa sedih dan semakin terkoyak perasaanya. Pada saat yang sama Zionis Israel semakin menyengsarakan rakyat. Maka tak heran bila semangat untuk membela dan melindungi sesamanya semakin kencang di sisi lain kerinduannya terhadap syahadah makin membuncah dalam jiwanya.
Hatinya yang lembut tak rela melihat pemerintahan Islam begitu lemah dalam melindungi Al-Aqsha. Dorongan untuk segera mendapatkan mati syahid tidak mengendurkan untuk membela saudaranya, walau sesibuk apapun.
Maka puncak cita-citanya dalam menggapai syahadah ia bergabung dengan brigade Izzudin Al-Qossam. Bersama Izzudin lah ia melakukan berbagai operasi penyerangan, penambakan dan pengeboman terhadap tentara musuh.
Pada malam ke sepuluh dari bulan Pebruari tahun 2000, sebelum intifadhah al-Aqsha meletus. Nabil beserta sejumlah temanya mempersiapkan operasi pengeboman terhadap jantung permukiman Israel dan kota-kota yang berada di bawah jajahanya.
Sebagaimana layaknya orang yang melakukan operasi syahid, sebelum Nabli menuju permukimin Israel di Ariel, ia membungkus badanya dengan bom dan granat. Kedua tanganya pun menggenggam dua buah granat yang siap diledakan.
Kecintaanya pada syhahadah melebihi gelegar granat ketika meledak. Namun Allah ternyata berkehendak lain, bom yang dipasang di badanya ternyata keburu meledak sebelum waktunya.
Namun inilah mungkin hikmah dibaliknya. Nabil diberi kesempatan oleh Allah untuk dapat bertemu untuk terakhir kali dengan ibunya tercinta, sebelum ia menghadap sang Kuasa, Allah, yang sangat dicintainya melebihi apapun di dunia ini. Mushhaf Al-Qur’an yang tidak pernah terlepas dari genggamanya ikut menemani saat-saat terakhir. Allah telah memelihara hati yang suci itu dengan Al-Qur’an yang selalu dibawa dan dibaca oleh Nabil. Ia ridho terhadap apa yang terjadi. Ia dapat beristirahat dengan tenang menuju peristirahatan panjang.
Sebelum pergi, ia sempat bertemu dengan ibunya yang sangat dicintainya. Dengan senyum menghiasi bibirnya, ia berusaha menenangkan hati ibunya yang selama ini mencintai dan mengasishinya. Dengan berlinangan air mata, ibunya melihat Nabil berbaring tak berdaya di atas tempat tidur dan menciuminya. Ibunya bertanya, “Apakah ada yang sakit wahai anakku?” Nabil menjawab, “Tenanglah wahai ibuku, tidak ada yang sakit sedikitpun, namun.., apakah ibu ridho padaku saat ini ….??.
Dengan hati terkoyak melihat keadaan anaknya, sambil mengusap air matanya yang tak henti-hentinya mengucur deras dari kedua matanya yang mulia, ibunya berkata, “Tentu wahai anakku …. Allah saja ridlo padamu, jika Tuhanku ridlo maka hatikupun tentu akan sangat ridlo. Nabil minta ibunya untuk menyampaikan salam pada saudara-saudaranya yang tak dapat menyaksikan Nabil karena dihalangi pasuka keamanan yang menjaga sekeliling rumah sakit untuk memeriksa kejadian sebenarnya.
Beberapa saat kemudian pasukan keamanan masuk memaksa ibunda Nabil meninggalkan anaknya yang sedang membaca ayat-ayat Allah. Sedetik kemudian anaknya menutup mata untuk terakhir kalinya, walau bibirnya masih nampak bergerak-gerak mengucap dzikir pada Allah.
Dengan langkah gontai ibunya keluar dari ruangan tersebut, namun kini hatinya dipenuhi dengan kesabaran dan ketenangan, walau air matanya tak henti berurai paling tidak untuk saat ini.

0 Comments:

Post a Comment